Jumat, 09 Maret 2018

Entahlah, Readers Bebas Menentukan Judul Postingan Ini.

Halo, blogspot. Udah lama banget ya kamu nggak kutengokin. Apa kabar?

Akhir-akhir ini lagi heboh beberapa akun Tumblr yang diblokir sama keminfo, dalihnya sih karena mengandung konten2 negatif. Padahal, kalo kuperhatiin, beberapa akun Tumblr yang kena blokir itu isinya jauh dari macem-macem bahkan banyak yang bermanfaat.
Tapi aku main ke sini bukan karena Tumblrku juga diblokir. Terakhir ku cek, dia baik-baik aja. Aku cuma kangen kamu haha, aku cuma pengen luapin sesuatu yang kurasa ini nggak layak dibaca banyak orang, lagipula kayanya gak ada ibrah yang bisa diambil wkwk. So i decided to go here, just to wreak out my feelings.

Beberapa hari belakangan ini, aku sering main lagi sama temen-temen lamaku. Temen-temen yang dari aku masih bandelnya bandel banget pas maba haha. Lama gak gabung sama mereka, belakangan ini banyak kabar mereka yang aku baru tau. Salah satunya adalah beberapa di antaranya baru aja putus sama pacarnya. Itu bukan kabar yang bikin kaget sih. Tapi gimana mereka putus dan gimana perlakuan si laki-lakinya ke mereka pasca putus itulah yang bikin aku sedikit tertekan.

Dulu, para lelaki ini maniiiiiissss minta ampun ke temen2ku itu. Temenku mau ke sana ditemenin, ke sini ditemenin, kemana-mana dianterin, mau ini dikasih, mau itu dikasih, dan sebagainya. Omongannya apalagi, kayanya gula tuh kalah manis deh sama omongan mereka. Perempuan mana sih yang gak percaya kalo digituin. Di saat temen-temenku itu lagi percaya-percayanya, para laki2 itu ternyata 'main' sama yang lain. Kalo bahasa umumnya, 'selingkuh'. Sebenernya aku gak suka kata 'selingkuh', terdengar norak dan kampungan -_-Aku gak akan cerita gimana mereka itu selingkuh dan gimana ketauannya.

Mungkin karena terlalu sayang atau gimanalah, temen-temenku itu masih aja maafin. Tapi para laki2 itu ngulang lagi, dan mereka maafin lagi, gitu terus pokoknya. Aku bukan tipe perempuan kaya mereka yang bisa mentolerir orang ketiga. Mungkin kalo aku di posisi mereka, udah dari pertama kali dia ketauan aku gak akan nerusin hubungan lagi walau kalo untuk memaafkan jelas iya. Untuk urusan ini, aku tipe perempuan yang 'forgiving, but not forgetting'.

Salah satu di antara laki2 itu, waktu dia udah berkali-kali ketauan, malah ngasarin temenku. Temenku dipukul. Laki-laki loh gais, tapi berani-beraninya mukul perempuan. Tangan temenku sampe biru-biru. Aku gak paham lagi dimana letak kelaki-lakiannya. Ditambah lagi fakta bahwa dia yang salah tapi malah dia yang marah bahkan mukul, bikin aku tambah mempertanyakan kelakiannya. Aku benci dan marah banget waktu denger ceritanya. Tapi gemesnya, temenku masih aja maafin dan lanjutin hubungannya walau udah 'dianiyaya' kaya gitu. Tapi namanya juga manusia, punya titiknya sendiri. Akhirnya pada satu kesempatan temenku udah gak kuat dan minta putus.

Setelah putus itulah, mulai keluar aslinya si laki2 itu. Kayanya temenku gak ada hari tanpa dimaki-maki. Temenku ditelponin terus, cuma buat 'dianjing-anjingin'. Kayanya semua kosa kata kasar yang ada di dunia ini dia lontarin ke temenku yang notabene mantan pacarnya. Pernah, sekali-kali aku yang ngangkat telponnya karna temenku udah gak kuat. Jawaban si laki2 itu ke aku, "gua bukan mau ngomong sama lo anj*ng.". Aku kaget, kenapa dia diciptakan Allah sebagai laki-laki, yang padahal seharusnya melindungi dan memimpin, tapi samasekali gak pantes memerankan peran itu.

Beberapa hari setelahnya, barang-barang temenku yang ketinggalan atau pernah dipinjem si laki2 itu, dibalikin sama tu orang. Waktu dibuka, semuanya rusak. Lebih tepatnya dirusak. Kaos-kaos dan kemeja temenku diguntingin. Gambar-gambar yang pernah temenku buat, dirobekin. Lampu belajar temenku yg pernah dia pinjem dirusak juga. Aku gak ngerti kenapa ada orang sesakit gini, kayanya tu laki2 butuh dirukyah. Begitu juga kurang lebih yang terjadi sama temenku yang putus lainnya. Semua laki2 itu drastis berubah 180 derajat.

Pada saat yang bersamaan, aku juga lagi dipinjemin sebuah buku sama temenku, karyanya Buya Hamka. Isinya tentang beberapa cerpen yang menggambarkan permasalahan hidup sehari-hari yang kadang manusia luputkan di tengah hiruk pikuk kesenangan dunia. Bukunya bagus banget, aku suka bahasanya walau kadang harus mikir dulu. Banyak, banyak banget pelajaran yang bisa kuambil darinya. Beberapa di antaranya tentang rumah tangga. Klise sebenarnya, permasalahan rumah tangga yang berakibat pada perceraian. Entah itu karena si perempuannya berbudi kurang baik lah, atau si laki-lakinya berubah setelah sekian tahun pernikahan lah, atau salah satu di antara mereka seronglah, atau yang serupa lainnya.

Aku tumbuh di tengah-tengah karamnya sebuah rumah tangga, jadi sungguh nggak asing lagi sama hal-hal kaya gini. Tadinya, kupikir tumbuhnya aku di keluarga yang bercerai adalah modalku untuk nggak mengulangi 'kebodohan' yang pernah dilakukan orang-orang dewasa itu. Tadinya, kupikir itu bisa jadi bekalku untuk lebih kuat menghadapi apapun yang Allah takdirkan di pernikahanku kelak. Tadinya.
Tapi lama-kelamaan aku takut, setelah beberapa kali denger cerita dari ibu laundryku tentang beliau yang bermasalah dengan suaminya juga keluarga suaminya, setelah denger cerita dan menyaksikan sendiri temen2ku yang bermasalah sama pacarnya, setelah baca rentetan karyanya Buya Hamka, aku justru semakin takut.

Iya, lama2 aku takut sama keterikatan hubungan dengan laki-laki. Enggak enggak, tenang aja, bukan berarti aku malah suka sesama jenis-_- Ketakutanku lebih cenderung menimbulkan kehati-hatian. Aku memilih seseorang untuk jadi pendamping hidupku nanti pasti karena dalam batas pengetahuanku yaa dia baik. Baik di sini maksutnya luas ya, mencakup adil, tenang, sabar, dan segala macam sifat dan sikap positif lainnya. Tapi aku kan nggaktau, apakah dalam sepuluh duapuluh tahun ke depan dia masih dia yang kunilai 'baik' waktu aku memilih dulu. Lambat laun, mataku nggak seger lagi, kulitku nggak mulus dan kencang lagi, senyumku nggak semantap waktu dia memilihku. Setiap bangun tidur, yang diliatnya aku. Keluar kamar mandi, yang diliatnya aku. Begitu terus sampe puluhan tahun. Gimana kalo dia bosen, terus perlahan berubah? Gimana kalo di luar sana dia bertemu seseorang yang jauh lebih baik? Dan masih banyak 'Gimana kalo' lainnya. Pertanyaan-pertanyaan bodoh semacam ini terus berulang beberapa hari belakangan ini. Sampai aku sempet mikir, 'apa gausah nikah ya?'. Astagfirullah..

Gimana bisa aku sempet kepikiran gausah nikah padahal dengannya lah setengah agamaku lengkap. Gimana bisa aku sempet kepikiran gausah nikah padahal dengannya lah aku bisa menggapai salah satu citaku, yaitu melahirkan dan mendidik para tentara-tentara Allah. Gimana bisa aku sempet kepikiran gausah nikah padahal dengannya lah aku bisa masuk surga lewat pintu manapun.

Maka pertanyaan2 bodoh bernada 'gimana kalo' tadi kutepis dengan berbagai doa. Aku sungguh berharap, Allah menyatukanku dengan seorang laki-laki yang sangat cinta, takut, dan harap padaNya. Laki-laki yang dimanapun berada, dia sadar bahwa Allah lah saksi perbuatan, perkataan, bahkan perasaannya. Sehingga ketika menikahiku, dia mencintaiku karena Allah, bukan hanya karena apa yang ada padaku. Sehingga ketika tiba masanya aku tak sedap lagi disentuh, dia masih sangat memuliakanku, tentu karena Allah.