Sabtu, 30 Juni 2018

Kindness is Contagious (2)


Selain pekat dengan aroma kebaikan, Bulan Ramadhan juga pekat dengan hawa-hawa buka bersama. Sore itu aku memiliki agenda buka bersama dengan teman-teman organisasi. Kami memilih tempat makan yang tidak jauh dari kampus. Di samping harga makanannya tidak terlalu mahal, rasa makanannya pun bisa dibilang enak. Sistem penyediaan minumnya cukup unik, pengunjung dipersilahkan mengambil sendiri minumannya di tempat yang telah disediakan, sepuasnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lebih. Di Semarang, itu artinya sebentar lagi azan magrib dikumandangkan. Makanan kami sudah datang, namun belum ada satupun dari kami yang mengambil minumnya, sepertinya kami terlalu asik berbincang. Mengingat sebentar lagi memasuki waktu berbuka, aku memutuskan mengambil minuman untuk kami.

Selayaknya tempat makan pada umumnya di bulan puasa di detik-detik berbuka, tempat makan inipun padat dengan pengunjung. Begitu juga antrian pengambilan minum, padat. Aku berdiri di antrian ke sekian sambil menyiapkan gelas-gelas yang akan kuisi. Tiba-tiba, masuklah seorang bapak paruh baya ke dalam rumah makan.  Beliau mengenakan baju koko berwarna hijau telur asin yang sedikit lusuh, peci putih kain, dan celana bahan. Beliau menggenggam sebuah kresek yang berisi bungkusan nasi.

“minta minum… minta minum..”, katanya, dengan suara lemah dan bergetar. Aku memandang si bapak dari antrianku, memerhatikan. Aku juga memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Wajar bila orang-orang itu memasang wajah bingung dan hati-hati. Beberapa dari mereka bahkan menunjukkan gesture menjauh. Pelayan rumah makan berjalan mendekati si bapak, memintanya keluar. Si bapak tetap berdiri di tempatnya, mengulangi kalimat ‘minta minum’nya. Tetap, si pelayan menyuruhnya pergi. Bapak tersebut berbalik ragu-ragu ke arah pintu, perlahan berjalan keluar. Aku memutuskan keluar dari antrean, mendekati Si Bapak. “Pak, tolong tunggu di depan sana ya, saya beliin minum.” Dengan raut wajah hampir menangis—entah karena diusir atau karena akan mendapat minum—ia mengangguk. Aku menghampiri meja kasir yang sekaligus menjadi tempat pemesanan, memesan minuman untuk dibungkus. Aku diam berdiri, menunggu pesananku di sebelah meja kasir. Sambil menunggu, sesekali kutengok jendela besar di sebrang sana, memastikan Si Bapak masih menunggu di depan rumah makan. Benar saja, ia menunggu sambil menunduk, memandangi bungkusan nasinya. Entah kenapa ada setangkup rasa sedih saat aku melihatnya. Tak berselang lama, pesananku sudah siap. Seorang pramusaji menyerahkan segelas plastik minuman padaku.

“bayarnya boleh agak nanti mbak? Uang saya di meja yang sana.”, kataku. Pamusaji tersebut mengiyakan.

Aku pergi ke arah pintu keluar, menghampiri Si Bapak. Aku tau, pramusaji itu masih memerhatikanku. Ya, pramusaji yang juga meminta Si Bapak keluar. Sesampainya di luar, kuserahkan minuman tersebut kepada Si Bapak. Setelah berterimakasih, ia pamit pergi. Masih dengan muka seperti ingin menangis, membuatku merasa semakin sedih. Aku kembali mengantri, lebih tepatnya mengulang antrian. Tiba-tiba, pramusaji yang tadi megusir bapak itu, yang juga melayani pesananku, yang juga memerhatikan gerak-gerikku, menghampiriku.

“Mbak, minumannya gausah dibayar”, katanya.

Aku mengarutkan kening, namun tersenyum.

“oh gitu? Makasih ya mbak..” kataku.

“iya mbak..” balasnya, ia kembali bekerja.

Aku diam, memandangi lantai yang persis di bawahku. Memikirkan kejadian yang baru saja terjadi, membuat senyum di hatiku semakin merekah. Tuh kan, bukan cuma cacar aja yang menular, tapi kebaikan juga.

Hal-hal seperti ini—berbuat sesuatu lalu orang lain merasakan dampaknya—mungkin  sering kutemui atau kualami, sejak dulu. Bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun dulu ya terlewatkan begitu aja. Tanpa banyak proses berpikir, merenung, mencoba mengambil ibrah atau pelajaran di baliknya. Yaa, namanya juga anak kecil.

Semakin ke sini, semakin banyak hal yang membuatku berpikir. Kadang membuatku harus mengerutkan dahi, kadang membuatku tersenyum takjub, kadang membuatku tersipu malu, kadang membuatku sama sekali tak mengerti. Dari yang dulunya aku tidak perduli, kini banyak hal-hal yang tidak bisa membuatku tidak perduli. ‘Dunia berubah’, pikirku. ‘Dunia berubah. Sekarang orang-orang hobi banget ngomongin nikah, akun baper betebaran dimana-mana. Perang pemikiran juga semakin gila. Perebutan kekuasaan dimana-mana. Dulu nggak gini kayanya. Dulu dunia gak serumit gini.”

Lambat laun aku sadar, sebenarnya dunia sama sekali tidak berubah,  tapi cara pandang kitalah yang semakin bergeser. Entah bergeser ke sesuatu yg lebih baik,  atau sebaliknya. Dari dulu, udah banyak kok yang ngomongin nikah, dari dulu udah gencar kok yang namanya perang pemikiran, perebutan kekuasaan, dan hal-hal semacam itu. Bedanya, dulu aku tidak perduli. Apalah perdulinya anak umur 10 tahun dengan urusan nikah menikah dan berbagai konspirasi dunia.

Ya, dunia sama sekali tidak berubah. Kalaupun ada beberapa hal yang belum pernah ada sebelumnya, itu hanya di cara, bukan prinsip. Dulu memukul sendiri, namun karena perkembangan teknologi, sekarang tinggal pencet tombol sudah bisa memukul. Intinya kan sama: memukul.

Semakin lama hidup, semakin banyak hal yang tadinya mungkin terlihat biasa dan wajar di kacamataku, kini tidak.

Seperti halnya ketika aku mudik lebaran tahun ini. Entah kenapa terasa banyak sekali yang berbeda. Sepupu-sepupu laki-lakiku,  yang dulu masih bisa kucubit bahkan kupeluk,  sekarang aku sudah harus menjaga jarak dengan mereka. Pun dengan batasan auratku di depan mereka,  bertambah. Rasanya,  waktu itu masih cempreng saja suara mereka,  masih tidak malu berlarian ke sana ke mari,  menabrak ini dan itu. Sekarang,  merinding aku mendengar suaranya. Suara bariton yang besar dan berat pun akrab terdengar ketika mereka berbicara. Jakunnya sudah jelas terlihat naik dan turun ketika mereka bercerita.
Mungkin sebenarnya perubahan ini sudah mulai bisa kulihat dari tahun-tahun sebelumnya. Ya, hanya kulihat. Tapi baru tahun ini kurasakan, dan itu membuatku banyak berpikir dan merenung.

Jangan jauh-jauh ke sepupu, adik (yang kupikir masih) kecil laki-lakiku saja seperti itu, namanya Hafiz. Dia, yang rasanya baru saja kuantar masuk pesantren tempo hari, sudah sangat kurasakan perubahan fisiknya di liburan kemarin. Cepat sekali ia menjadi ‘laki-laki’ L

Tahun ini aku dan adikku yang paling tua, Fauzan, diizinkan bapak mengunjungi bunda kami yang tinggal di luar kota dengan menggunakan mobil. Ini kali pertama kami berdua diizinkan keluar kota mengendarai mobil. Mungkin sekilas itu terlihat biasa. Tapi bagiku tidak. Bukan karena mobilnya, tapi karena itu menandakan sebuah perubahan cara pandang orangtua kami terhadap kami. sepanjang perjalanan, hatiku sesak dengan perasaan syukur, haru, dan trenyuh. Ternyata orangtua kami menganggap kami sudah sedewasa ini.

Jika sudah berdua begini, pembicaraan kami tidak seringan dulu. Berbagai hal tentang hidup, cara pandang masing-masing tentang banyak hal, pendapat masing-masing mengenai sebuah isu, dan rencana masing-masing untuk masa depan kerap mewarnai percakapan kami. Sesekali sama-sama diam, merenungkan yang baru saja kami obrolkan, untuk kemudian dilanjut lagi entah dengan topik yang sama atau loncat membahas hal lain. Sungguh dulu aku sama sekali tak menyangka akan begini isi obrolan kami.

Sesampainya di rumah bunda, si kecil sovi sudah menunggu kami di depan gerbang, siap menghambur ke pelukan salah satu dari kami yang keluar lebih dulu dari mobil. Ingin rasanya kugendong anak itu, tapi……..ah, ternyata sovi sudah bukan adikku yang kecil lagi. Berat dan tingginya kian bertambah. Aku tidak senyaman dulu lagi memangku dan menggendong sovi karena bobot tubuhnya. Waktu kuturunkan kembali, sovi cemberut. “Kamu berat dek” kataku sambil tertawa. Kuacak-acak rambutnya, dia tetap cemberut karena tidak jadi kugendong. Setelah salim dengan sovi, kami masuk ke dalam rumah, menyapa anggota rumah lainnya.

Pun adikku yang satu lagi, Dita. Sering kudapati status di sosial medianya mulai merujuk kepada hal-hal yang wajarnya remaja rasakan; perasaan tertarik pada seseorang. Aku beberapa kali meringis melihatnya. Ah, kenapa gadis ini cepat sekali tumbuh. Malah, waktu kutemui lebaran kemarin, gadis ini bahkan hampir menyaingi tinggiku!  L
Masa tinggiku hampir sama kaya anak kelas 3 SMP :(

Entah kenapa, disamping perasaan bahagia, ada setumpuk rasa sedih menyadari hal-hal kecil ini.; Fauzan yang sudah semakin kritis pemikirannya, Hafiz yang semakin ‘laki-laki’, Dita yang semakin terlihat ‘gadisnya’, Sovi yang sudah bukan anak kecil lagi. Aku terpaksa harus menerima kenyataan bahwa mereka bukan adik-adik kecilku lagi. Ah, waktu..

Lalu kupandangi diriku sendiri di cermin. Adakah juga sama; adakah berubah. Namun gagal, tidak kudapati perubahan signifikan secara fisik.

Sejurus kemudian aku tersadar, bukan itu yang berubah. Namun hal yang lebih mendasar, hal yang akan menggiring arahku di hidup ini; caraku memandang.

Di bulan Juni kali ini, banyak hal yang membuatku semakin ‘terbangun’. Selain kesempatan bertemu banyak anggota keluarga di lebaran kemarin dan memerhatikan mereka satu per satu, bulan ini juga umurku bertambah menjadi 22.

Bagiku, itu bukan angka yang sedikit untuk ukuran umur anak manusia. Maksutnya, bukan masaku lagi setidakperduli dulu. Banyak hal-hal di sekelilingku yang menunggu kontribusiku, sesedikit apapun yang kupunya.

Bulan ini juga aku sidang, lebih tepatnya kemarin. Yes, I’am unofficially being Mulia Fajri Ichzani S.Ars.



Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.  Segala puji bagi Allah selalu, yang menyampaikan diri di titik ini. Titik yang bukan akhir, justru awal dari banyak hal. Gerbang, kata mereka. Dengannya, aku semakin ‘dibangunkan’. Sungguh aku Muli yang bukan lagi waktunya bermain di got depan rumah, menangkap belalang di halaman sekolah, atau diam-diam minum es walaupun dilarang ibu. Sungguh aku Muli yang sudah berhak menentukan sendiri akan ke mana hidupku ini dibawa. Dan fakta itu bukan hal yang sepele, bukan hal yang bisa dianggap kecil.

Ohiya, terimakasih banyak untuk semua pemberi barang-barang ini di hari sidangku kemarin ya. Baik yang datang langsung ke sidang, nitip lewat teman, langsung mendatangi kosku, atau bahkan mengirimkan via paket ke kos karena tidak bisa ke Semarang. Terimakasih J




Ada 1 hadiah yang paling membuatku jatuh cinta. Hadiahnya cantik banget sampe aku ngerasa kalah cantik :’) hahaha #SiapaJugaYangBilangLuCantikMul #Pffft

Rangkaian bunga pinus, yang ternyata dirangkai sendiri oleh pemberinya.
Biarpun gak tertulis nama pemberinya, tapi aku tau ini dari siapa haha.
Hey, terimakasih untuk bunga yang tidak pernah matinya, ya :)


Terimakasih banyak juga untuk semua yang mendoakan ya, baik yang menyampaikan secara langsung, menyampaikan lewat surat, maupun melayangkan diam-diam. Semoga semua kebaikan yang didoakan terkabul dan berlaku juga untuk yang mendoakan. Aamiin allahuma aamiin.
Terimakasih, terimakasih J
.
.
.
Ngomong-ngomong, nyadar gak sih cuma bagian awal tulisan ini yang nyambung sama judulnnya? Haha sengaja :p
biar gak ketauan-ketauan banget kalo ini tulisan menggalaukan diri yang semakin tua wkwkwkwk

Well, di penghujung Juni ini, aku berharap semoga diri ini dan yang membaca selalu Allah limpahkan kasih sayang, ridha, dan rahmat-Nya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar