Minggu, 14 Oktober 2018

Senin, 10 September 2018

02.37 Ante Meridiem

10 September , 02.37 AM,
Ia terbangun. Bahkan  sebelum  jam kodok berwarna hijau yang terletak di nakas samping tempat tidurnya membunyikan alarm. Napasnya sedikit tersengal. Walau pendingin ruangan menunjukkan angka ‘17’ dalam satuan derajat selsius, namun ia masih saja berkeringat dan merasa sesak. Diucapkannya istighfar berulang kali. ‘mimpi buruk apa lagi barusan’, batinnya, dengan posisi duduk dan tatapan lurus ke depan.
Dia usap mukanya sekali dengan telapak tangan, melirihkan doa bangun tidur sambil terus merenung, dadanya naik turun.

Jumat, 24 Agustus 2018

#MariBaca (1) : Ayah - Andrea Hirata

Halo! Pernah nggak sih ngerasa sayang sama buku-buku yang udah dibaca dan lewat gitu aja tanpa ‘diabadikan’ kecuali cuma lewat pemahaman? Dari dulu udah ngerasa gini sih, tapi mager terus ‘ngabadiin’nya karena susah cari waktu juga. Berhubung sekarang udah lebih luang, makaaa diputuskanlah pelaksanaan niat ini: bikin ringkasan atau mindmap konten bukunya, dan bikin ulasan atau review bukunya.

Ringkasan atau mindmapnya sih buat saya pribadi (kecuali kalo ada yang minta, insyaaAllah saya kasih), biar sewaktu-waktu ketika butuh materi tertentu saya tinggal baca ringkasan/mindmapnya aja, gausah ribet-ribet cari lagi di bukunya. Nah kalo ulasannya baru deh buat publik.

Well, lewat judul #MariBaca saya akan nyoba ngulas sedikit setiap buku yang baru aja saya baca, yaa singkat aja sih ulasannya. Karena saya baru kepikiran ide ini belakangan ini, jadi buku-buku yang saya baca setelah ide ini muncul aja yang bakal diulas. Harapannya sih ini bisa ngebantu orang cari referensi buku apa yang oke buat dia baca. Untuk info, saya biasanya baca buku-buku parenting, novel (pendidikan, romance, religi, budaya, politik, childhood, dan sejenisnya), biografi tokoh, wanita dan kecantikan, sastra, lingkungan dan alam, arsitektur, penataan wilayah dan kota, buku-buku religi (sejenis yang biasa diterbitin ProU), management, buku-buku pengembangan diri, psikologi, sejarah, sains, dan komik (yes, of course!).  ulasan-ulasan saya ini diusahakan gak spoiler kok, jadi tenang aja hehe. Bukan berarti semua buku yang saya baca itu baiknya dibaca juga loh ya, tapi silahkan ambil yang emang dibutuhin aja. Semoga terbantu! J


Nah untuk kali pertama, saya bakal sedikit ngereview novel ‘Ayah’ karya mas Andrea Hirata.

Cover depan 'Ayah - Andrea Hirata'

Senin, 16 Juli 2018

Sabtu, 30 Juni 2018

Kindness is Contagious (2)


Selain pekat dengan aroma kebaikan, Bulan Ramadhan juga pekat dengan hawa-hawa buka bersama. Sore itu aku memiliki agenda buka bersama dengan teman-teman organisasi. Kami memilih tempat makan yang tidak jauh dari kampus. Di samping harga makanannya tidak terlalu mahal, rasa makanannya pun bisa dibilang enak. Sistem penyediaan minumnya cukup unik, pengunjung dipersilahkan mengambil sendiri minumannya di tempat yang telah disediakan, sepuasnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lebih. Di Semarang, itu artinya sebentar lagi azan magrib dikumandangkan. Makanan kami sudah datang, namun belum ada satupun dari kami yang mengambil minumnya, sepertinya kami terlalu asik berbincang. Mengingat sebentar lagi memasuki waktu berbuka, aku memutuskan mengambil minuman untuk kami.

Selayaknya tempat makan pada umumnya di bulan puasa di detik-detik berbuka, tempat makan inipun padat dengan pengunjung. Begitu juga antrian pengambilan minum, padat. Aku berdiri di antrian ke sekian sambil menyiapkan gelas-gelas yang akan kuisi. Tiba-tiba, masuklah seorang bapak paruh baya ke dalam rumah makan.  Beliau mengenakan baju koko berwarna hijau telur asin yang sedikit lusuh, peci putih kain, dan celana bahan. Beliau menggenggam sebuah kresek yang berisi bungkusan nasi.

“minta minum… minta minum..”, katanya, dengan suara lemah dan bergetar. Aku memandang si bapak dari antrianku, memerhatikan. Aku juga memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Wajar bila orang-orang itu memasang wajah bingung dan hati-hati. Beberapa dari mereka bahkan menunjukkan gesture menjauh. Pelayan rumah makan berjalan mendekati si bapak, memintanya keluar. Si bapak tetap berdiri di tempatnya, mengulangi kalimat ‘minta minum’nya. Tetap, si pelayan menyuruhnya pergi. Bapak tersebut berbalik ragu-ragu ke arah pintu, perlahan berjalan keluar. Aku memutuskan keluar dari antrean, mendekati Si Bapak. “Pak, tolong tunggu di depan sana ya, saya beliin minum.” Dengan raut wajah hampir menangis—entah karena diusir atau karena akan mendapat minum—ia mengangguk. Aku menghampiri meja kasir yang sekaligus menjadi tempat pemesanan, memesan minuman untuk dibungkus. Aku diam berdiri, menunggu pesananku di sebelah meja kasir. Sambil menunggu, sesekali kutengok jendela besar di sebrang sana, memastikan Si Bapak masih menunggu di depan rumah makan. Benar saja, ia menunggu sambil menunduk, memandangi bungkusan nasinya. Entah kenapa ada setangkup rasa sedih saat aku melihatnya. Tak berselang lama, pesananku sudah siap. Seorang pramusaji menyerahkan segelas plastik minuman padaku.

“bayarnya boleh agak nanti mbak? Uang saya di meja yang sana.”, kataku. Pamusaji tersebut mengiyakan.

Aku pergi ke arah pintu keluar, menghampiri Si Bapak. Aku tau, pramusaji itu masih memerhatikanku. Ya, pramusaji yang juga meminta Si Bapak keluar. Sesampainya di luar, kuserahkan minuman tersebut kepada Si Bapak. Setelah berterimakasih, ia pamit pergi. Masih dengan muka seperti ingin menangis, membuatku merasa semakin sedih. Aku kembali mengantri, lebih tepatnya mengulang antrian. Tiba-tiba, pramusaji yang tadi megusir bapak itu, yang juga melayani pesananku, yang juga memerhatikan gerak-gerikku, menghampiriku.

“Mbak, minumannya gausah dibayar”, katanya.

Aku mengarutkan kening, namun tersenyum.

“oh gitu? Makasih ya mbak..” kataku.

“iya mbak..” balasnya, ia kembali bekerja.

Aku diam, memandangi lantai yang persis di bawahku. Memikirkan kejadian yang baru saja terjadi, membuat senyum di hatiku semakin merekah. Tuh kan, bukan cuma cacar aja yang menular, tapi kebaikan juga.

Hal-hal seperti ini—berbuat sesuatu lalu orang lain merasakan dampaknya—mungkin  sering kutemui atau kualami, sejak dulu. Bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun dulu ya terlewatkan begitu aja. Tanpa banyak proses berpikir, merenung, mencoba mengambil ibrah atau pelajaran di baliknya. Yaa, namanya juga anak kecil.

Semakin ke sini, semakin banyak hal yang membuatku berpikir. Kadang membuatku harus mengerutkan dahi, kadang membuatku tersenyum takjub, kadang membuatku tersipu malu, kadang membuatku sama sekali tak mengerti. Dari yang dulunya aku tidak perduli, kini banyak hal-hal yang tidak bisa membuatku tidak perduli. ‘Dunia berubah’, pikirku. ‘Dunia berubah. Sekarang orang-orang hobi banget ngomongin nikah, akun baper betebaran dimana-mana. Perang pemikiran juga semakin gila. Perebutan kekuasaan dimana-mana. Dulu nggak gini kayanya. Dulu dunia gak serumit gini.”

Lambat laun aku sadar, sebenarnya dunia sama sekali tidak berubah,  tapi cara pandang kitalah yang semakin bergeser. Entah bergeser ke sesuatu yg lebih baik,  atau sebaliknya. Dari dulu, udah banyak kok yang ngomongin nikah, dari dulu udah gencar kok yang namanya perang pemikiran, perebutan kekuasaan, dan hal-hal semacam itu. Bedanya, dulu aku tidak perduli. Apalah perdulinya anak umur 10 tahun dengan urusan nikah menikah dan berbagai konspirasi dunia.

Ya, dunia sama sekali tidak berubah. Kalaupun ada beberapa hal yang belum pernah ada sebelumnya, itu hanya di cara, bukan prinsip. Dulu memukul sendiri, namun karena perkembangan teknologi, sekarang tinggal pencet tombol sudah bisa memukul. Intinya kan sama: memukul.

Semakin lama hidup, semakin banyak hal yang tadinya mungkin terlihat biasa dan wajar di kacamataku, kini tidak.

Seperti halnya ketika aku mudik lebaran tahun ini. Entah kenapa terasa banyak sekali yang berbeda. Sepupu-sepupu laki-lakiku,  yang dulu masih bisa kucubit bahkan kupeluk,  sekarang aku sudah harus menjaga jarak dengan mereka. Pun dengan batasan auratku di depan mereka,  bertambah. Rasanya,  waktu itu masih cempreng saja suara mereka,  masih tidak malu berlarian ke sana ke mari,  menabrak ini dan itu. Sekarang,  merinding aku mendengar suaranya. Suara bariton yang besar dan berat pun akrab terdengar ketika mereka berbicara. Jakunnya sudah jelas terlihat naik dan turun ketika mereka bercerita.
Mungkin sebenarnya perubahan ini sudah mulai bisa kulihat dari tahun-tahun sebelumnya. Ya, hanya kulihat. Tapi baru tahun ini kurasakan, dan itu membuatku banyak berpikir dan merenung.

Jangan jauh-jauh ke sepupu, adik (yang kupikir masih) kecil laki-lakiku saja seperti itu, namanya Hafiz. Dia, yang rasanya baru saja kuantar masuk pesantren tempo hari, sudah sangat kurasakan perubahan fisiknya di liburan kemarin. Cepat sekali ia menjadi ‘laki-laki’ L

Tahun ini aku dan adikku yang paling tua, Fauzan, diizinkan bapak mengunjungi bunda kami yang tinggal di luar kota dengan menggunakan mobil. Ini kali pertama kami berdua diizinkan keluar kota mengendarai mobil. Mungkin sekilas itu terlihat biasa. Tapi bagiku tidak. Bukan karena mobilnya, tapi karena itu menandakan sebuah perubahan cara pandang orangtua kami terhadap kami. sepanjang perjalanan, hatiku sesak dengan perasaan syukur, haru, dan trenyuh. Ternyata orangtua kami menganggap kami sudah sedewasa ini.

Jika sudah berdua begini, pembicaraan kami tidak seringan dulu. Berbagai hal tentang hidup, cara pandang masing-masing tentang banyak hal, pendapat masing-masing mengenai sebuah isu, dan rencana masing-masing untuk masa depan kerap mewarnai percakapan kami. Sesekali sama-sama diam, merenungkan yang baru saja kami obrolkan, untuk kemudian dilanjut lagi entah dengan topik yang sama atau loncat membahas hal lain. Sungguh dulu aku sama sekali tak menyangka akan begini isi obrolan kami.

Sesampainya di rumah bunda, si kecil sovi sudah menunggu kami di depan gerbang, siap menghambur ke pelukan salah satu dari kami yang keluar lebih dulu dari mobil. Ingin rasanya kugendong anak itu, tapi……..ah, ternyata sovi sudah bukan adikku yang kecil lagi. Berat dan tingginya kian bertambah. Aku tidak senyaman dulu lagi memangku dan menggendong sovi karena bobot tubuhnya. Waktu kuturunkan kembali, sovi cemberut. “Kamu berat dek” kataku sambil tertawa. Kuacak-acak rambutnya, dia tetap cemberut karena tidak jadi kugendong. Setelah salim dengan sovi, kami masuk ke dalam rumah, menyapa anggota rumah lainnya.

Pun adikku yang satu lagi, Dita. Sering kudapati status di sosial medianya mulai merujuk kepada hal-hal yang wajarnya remaja rasakan; perasaan tertarik pada seseorang. Aku beberapa kali meringis melihatnya. Ah, kenapa gadis ini cepat sekali tumbuh. Malah, waktu kutemui lebaran kemarin, gadis ini bahkan hampir menyaingi tinggiku!  L
Masa tinggiku hampir sama kaya anak kelas 3 SMP :(

Entah kenapa, disamping perasaan bahagia, ada setumpuk rasa sedih menyadari hal-hal kecil ini.; Fauzan yang sudah semakin kritis pemikirannya, Hafiz yang semakin ‘laki-laki’, Dita yang semakin terlihat ‘gadisnya’, Sovi yang sudah bukan anak kecil lagi. Aku terpaksa harus menerima kenyataan bahwa mereka bukan adik-adik kecilku lagi. Ah, waktu..

Lalu kupandangi diriku sendiri di cermin. Adakah juga sama; adakah berubah. Namun gagal, tidak kudapati perubahan signifikan secara fisik.

Sejurus kemudian aku tersadar, bukan itu yang berubah. Namun hal yang lebih mendasar, hal yang akan menggiring arahku di hidup ini; caraku memandang.

Di bulan Juni kali ini, banyak hal yang membuatku semakin ‘terbangun’. Selain kesempatan bertemu banyak anggota keluarga di lebaran kemarin dan memerhatikan mereka satu per satu, bulan ini juga umurku bertambah menjadi 22.

Bagiku, itu bukan angka yang sedikit untuk ukuran umur anak manusia. Maksutnya, bukan masaku lagi setidakperduli dulu. Banyak hal-hal di sekelilingku yang menunggu kontribusiku, sesedikit apapun yang kupunya.

Bulan ini juga aku sidang, lebih tepatnya kemarin. Yes, I’am unofficially being Mulia Fajri Ichzani S.Ars.



Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.  Segala puji bagi Allah selalu, yang menyampaikan diri di titik ini. Titik yang bukan akhir, justru awal dari banyak hal. Gerbang, kata mereka. Dengannya, aku semakin ‘dibangunkan’. Sungguh aku Muli yang bukan lagi waktunya bermain di got depan rumah, menangkap belalang di halaman sekolah, atau diam-diam minum es walaupun dilarang ibu. Sungguh aku Muli yang sudah berhak menentukan sendiri akan ke mana hidupku ini dibawa. Dan fakta itu bukan hal yang sepele, bukan hal yang bisa dianggap kecil.

Ohiya, terimakasih banyak untuk semua pemberi barang-barang ini di hari sidangku kemarin ya. Baik yang datang langsung ke sidang, nitip lewat teman, langsung mendatangi kosku, atau bahkan mengirimkan via paket ke kos karena tidak bisa ke Semarang. Terimakasih J




Ada 1 hadiah yang paling membuatku jatuh cinta. Hadiahnya cantik banget sampe aku ngerasa kalah cantik :’) hahaha #SiapaJugaYangBilangLuCantikMul #Pffft

Rangkaian bunga pinus, yang ternyata dirangkai sendiri oleh pemberinya.
Biarpun gak tertulis nama pemberinya, tapi aku tau ini dari siapa haha.
Hey, terimakasih untuk bunga yang tidak pernah matinya, ya :)


Terimakasih banyak juga untuk semua yang mendoakan ya, baik yang menyampaikan secara langsung, menyampaikan lewat surat, maupun melayangkan diam-diam. Semoga semua kebaikan yang didoakan terkabul dan berlaku juga untuk yang mendoakan. Aamiin allahuma aamiin.
Terimakasih, terimakasih J
.
.
.
Ngomong-ngomong, nyadar gak sih cuma bagian awal tulisan ini yang nyambung sama judulnnya? Haha sengaja :p
biar gak ketauan-ketauan banget kalo ini tulisan menggalaukan diri yang semakin tua wkwkwkwk

Well, di penghujung Juni ini, aku berharap semoga diri ini dan yang membaca selalu Allah limpahkan kasih sayang, ridha, dan rahmat-Nya..

Selasa, 01 Mei 2018


Perempuan itu, kalau sikapnya tiba-tiba aneh—entah menjadi dingin atau bahkan agresif—kemungkinannya ada dua;  jika tidak sedang cemburu, maka ia sedang rindu.

Selasa, 03 April 2018

Kindness is Contagious.


Seorang temanku terkena diare, penyakit yang baru seumur hidup kurasakan beberapa bulan lalu. Aku tau rasanya sungguh menyiksa. Seseorang yang terkena diare dipaksa mengeluarkan apapun yang ada di perut. Biarpun sudah tidak ada apa-apa lagi, tetap ia diminta mengeluarkannya. Hingga pada satu titik, ketika perutnya sudah habis dikuras, dia praktis hanya akan mengeluarkan air, air, dan air. Aku  paham betapa ngilunya mengidap diare.
Maka, kuputuskan untuk menjenguk temanku itu. Membawakan beberapa hal yang kurasa bisa membantu menyembuhkan atau setidaknya membuat keadaannya lebih baik. Aku bawakan  yoghurt karena bisa membunuh kuman penyebab diare, minuman isotonik karena membantu mengembalikan cairan yang hilang, dan salak karena kabarnya dia mampu menyumbat keinginan buang air.
Di toko buah, nampak salak yang tersisa tinggal sedikit. Mungkin 1,5 kilo lagi.

“Bu, ini berapaan harga salaknya?”

“7 ribu sekilo neng”

Aku mengambil keresek dan memasukan beberapa buah salak untuk kemudian ditimbang.

“Cuma segini? Ini gak nyampe sekilo neng”, kata si ibu penjual begitu salak-salakku ditimbang.

“iya bu nggakpapa. Ini buat orang sakit kok, jadi nggak perlu banyak-banyak. Jadi berapa bu?”

“3500 neng”

Aku memberikan uang 5000. Setelah menerimanya, si ibu membuka-buka tasnya, tampak mencari-cari sesuatu, sepertinya kembalian.

“oh gausah bu, gausah kembali gakpapa”

“looh neng. Yowis kalogitu sini sini”, si ibu menarik kembali keresek salakku, seluruh salak sisanya diimasukin juga ke dalam keresek salakku. Kini salaknya habis tak bersisa.

“ini, dibawa aja semua gakpapa..”, jelas si ibu.

“loh bu jangan, sayang. Ini lumayan kalo dijual bu..” aku berusaha menolak karena merasa tidak enak.

“wis ndakpapa. Dibawa aja..”

Aku tersenyum dalam hati. Setelah berterimakasih, aku berpamitan pergi.
Benar nyatanya, kebaikan itu menular. Kindness is contagious.

Jumat, 09 Maret 2018

Entahlah, Readers Bebas Menentukan Judul Postingan Ini.

Halo, blogspot. Udah lama banget ya kamu nggak kutengokin. Apa kabar?

Akhir-akhir ini lagi heboh beberapa akun Tumblr yang diblokir sama keminfo, dalihnya sih karena mengandung konten2 negatif. Padahal, kalo kuperhatiin, beberapa akun Tumblr yang kena blokir itu isinya jauh dari macem-macem bahkan banyak yang bermanfaat.
Tapi aku main ke sini bukan karena Tumblrku juga diblokir. Terakhir ku cek, dia baik-baik aja. Aku cuma kangen kamu haha, aku cuma pengen luapin sesuatu yang kurasa ini nggak layak dibaca banyak orang, lagipula kayanya gak ada ibrah yang bisa diambil wkwk. So i decided to go here, just to wreak out my feelings.

Beberapa hari belakangan ini, aku sering main lagi sama temen-temen lamaku. Temen-temen yang dari aku masih bandelnya bandel banget pas maba haha. Lama gak gabung sama mereka, belakangan ini banyak kabar mereka yang aku baru tau. Salah satunya adalah beberapa di antaranya baru aja putus sama pacarnya. Itu bukan kabar yang bikin kaget sih. Tapi gimana mereka putus dan gimana perlakuan si laki-lakinya ke mereka pasca putus itulah yang bikin aku sedikit tertekan.

Dulu, para lelaki ini maniiiiiissss minta ampun ke temen2ku itu. Temenku mau ke sana ditemenin, ke sini ditemenin, kemana-mana dianterin, mau ini dikasih, mau itu dikasih, dan sebagainya. Omongannya apalagi, kayanya gula tuh kalah manis deh sama omongan mereka. Perempuan mana sih yang gak percaya kalo digituin. Di saat temen-temenku itu lagi percaya-percayanya, para laki2 itu ternyata 'main' sama yang lain. Kalo bahasa umumnya, 'selingkuh'. Sebenernya aku gak suka kata 'selingkuh', terdengar norak dan kampungan -_-Aku gak akan cerita gimana mereka itu selingkuh dan gimana ketauannya.

Mungkin karena terlalu sayang atau gimanalah, temen-temenku itu masih aja maafin. Tapi para laki2 itu ngulang lagi, dan mereka maafin lagi, gitu terus pokoknya. Aku bukan tipe perempuan kaya mereka yang bisa mentolerir orang ketiga. Mungkin kalo aku di posisi mereka, udah dari pertama kali dia ketauan aku gak akan nerusin hubungan lagi walau kalo untuk memaafkan jelas iya. Untuk urusan ini, aku tipe perempuan yang 'forgiving, but not forgetting'.

Salah satu di antara laki2 itu, waktu dia udah berkali-kali ketauan, malah ngasarin temenku. Temenku dipukul. Laki-laki loh gais, tapi berani-beraninya mukul perempuan. Tangan temenku sampe biru-biru. Aku gak paham lagi dimana letak kelaki-lakiannya. Ditambah lagi fakta bahwa dia yang salah tapi malah dia yang marah bahkan mukul, bikin aku tambah mempertanyakan kelakiannya. Aku benci dan marah banget waktu denger ceritanya. Tapi gemesnya, temenku masih aja maafin dan lanjutin hubungannya walau udah 'dianiyaya' kaya gitu. Tapi namanya juga manusia, punya titiknya sendiri. Akhirnya pada satu kesempatan temenku udah gak kuat dan minta putus.

Setelah putus itulah, mulai keluar aslinya si laki2 itu. Kayanya temenku gak ada hari tanpa dimaki-maki. Temenku ditelponin terus, cuma buat 'dianjing-anjingin'. Kayanya semua kosa kata kasar yang ada di dunia ini dia lontarin ke temenku yang notabene mantan pacarnya. Pernah, sekali-kali aku yang ngangkat telponnya karna temenku udah gak kuat. Jawaban si laki2 itu ke aku, "gua bukan mau ngomong sama lo anj*ng.". Aku kaget, kenapa dia diciptakan Allah sebagai laki-laki, yang padahal seharusnya melindungi dan memimpin, tapi samasekali gak pantes memerankan peran itu.

Beberapa hari setelahnya, barang-barang temenku yang ketinggalan atau pernah dipinjem si laki2 itu, dibalikin sama tu orang. Waktu dibuka, semuanya rusak. Lebih tepatnya dirusak. Kaos-kaos dan kemeja temenku diguntingin. Gambar-gambar yang pernah temenku buat, dirobekin. Lampu belajar temenku yg pernah dia pinjem dirusak juga. Aku gak ngerti kenapa ada orang sesakit gini, kayanya tu laki2 butuh dirukyah. Begitu juga kurang lebih yang terjadi sama temenku yang putus lainnya. Semua laki2 itu drastis berubah 180 derajat.

Pada saat yang bersamaan, aku juga lagi dipinjemin sebuah buku sama temenku, karyanya Buya Hamka. Isinya tentang beberapa cerpen yang menggambarkan permasalahan hidup sehari-hari yang kadang manusia luputkan di tengah hiruk pikuk kesenangan dunia. Bukunya bagus banget, aku suka bahasanya walau kadang harus mikir dulu. Banyak, banyak banget pelajaran yang bisa kuambil darinya. Beberapa di antaranya tentang rumah tangga. Klise sebenarnya, permasalahan rumah tangga yang berakibat pada perceraian. Entah itu karena si perempuannya berbudi kurang baik lah, atau si laki-lakinya berubah setelah sekian tahun pernikahan lah, atau salah satu di antara mereka seronglah, atau yang serupa lainnya.

Aku tumbuh di tengah-tengah karamnya sebuah rumah tangga, jadi sungguh nggak asing lagi sama hal-hal kaya gini. Tadinya, kupikir tumbuhnya aku di keluarga yang bercerai adalah modalku untuk nggak mengulangi 'kebodohan' yang pernah dilakukan orang-orang dewasa itu. Tadinya, kupikir itu bisa jadi bekalku untuk lebih kuat menghadapi apapun yang Allah takdirkan di pernikahanku kelak. Tadinya.
Tapi lama-kelamaan aku takut, setelah beberapa kali denger cerita dari ibu laundryku tentang beliau yang bermasalah dengan suaminya juga keluarga suaminya, setelah denger cerita dan menyaksikan sendiri temen2ku yang bermasalah sama pacarnya, setelah baca rentetan karyanya Buya Hamka, aku justru semakin takut.

Iya, lama2 aku takut sama keterikatan hubungan dengan laki-laki. Enggak enggak, tenang aja, bukan berarti aku malah suka sesama jenis-_- Ketakutanku lebih cenderung menimbulkan kehati-hatian. Aku memilih seseorang untuk jadi pendamping hidupku nanti pasti karena dalam batas pengetahuanku yaa dia baik. Baik di sini maksutnya luas ya, mencakup adil, tenang, sabar, dan segala macam sifat dan sikap positif lainnya. Tapi aku kan nggaktau, apakah dalam sepuluh duapuluh tahun ke depan dia masih dia yang kunilai 'baik' waktu aku memilih dulu. Lambat laun, mataku nggak seger lagi, kulitku nggak mulus dan kencang lagi, senyumku nggak semantap waktu dia memilihku. Setiap bangun tidur, yang diliatnya aku. Keluar kamar mandi, yang diliatnya aku. Begitu terus sampe puluhan tahun. Gimana kalo dia bosen, terus perlahan berubah? Gimana kalo di luar sana dia bertemu seseorang yang jauh lebih baik? Dan masih banyak 'Gimana kalo' lainnya. Pertanyaan-pertanyaan bodoh semacam ini terus berulang beberapa hari belakangan ini. Sampai aku sempet mikir, 'apa gausah nikah ya?'. Astagfirullah..

Gimana bisa aku sempet kepikiran gausah nikah padahal dengannya lah setengah agamaku lengkap. Gimana bisa aku sempet kepikiran gausah nikah padahal dengannya lah aku bisa menggapai salah satu citaku, yaitu melahirkan dan mendidik para tentara-tentara Allah. Gimana bisa aku sempet kepikiran gausah nikah padahal dengannya lah aku bisa masuk surga lewat pintu manapun.

Maka pertanyaan2 bodoh bernada 'gimana kalo' tadi kutepis dengan berbagai doa. Aku sungguh berharap, Allah menyatukanku dengan seorang laki-laki yang sangat cinta, takut, dan harap padaNya. Laki-laki yang dimanapun berada, dia sadar bahwa Allah lah saksi perbuatan, perkataan, bahkan perasaannya. Sehingga ketika menikahiku, dia mencintaiku karena Allah, bukan hanya karena apa yang ada padaku. Sehingga ketika tiba masanya aku tak sedap lagi disentuh, dia masih sangat memuliakanku, tentu karena Allah.