Muliafichz
OHAYOOOOOOO!!!! Apa kabar? udah pada makan?
Senin, 10 September 2018
02.37 Ante Meridiem
10 September , 02.37 AM,
Ia terbangun. Bahkan sebelum
jam kodok berwarna hijau yang terletak di
nakas samping tempat tidurnya membunyikan alarm. Napasnya sedikit tersengal. Walau pendingin ruangan menunjukkan angka ‘17’ dalam satuan derajat selsius, namun ia
masih saja berkeringat dan merasa sesak. Diucapkannya istighfar berulang kali. ‘mimpi buruk apa lagi barusan’, batinnya,
dengan posisi duduk dan tatapan lurus ke depan.
Dia usap mukanya sekali dengan telapak tangan, melirihkan
doa bangun tidur sambil terus merenung, dadanya naik turun.
Jumat, 24 Agustus 2018
#MariBaca (1) : Ayah - Andrea Hirata
Halo! Pernah nggak sih ngerasa
sayang sama buku-buku yang udah dibaca dan lewat gitu aja tanpa ‘diabadikan’
kecuali cuma lewat pemahaman? Dari dulu udah ngerasa gini sih, tapi mager terus
‘ngabadiin’nya karena susah cari waktu juga. Berhubung sekarang udah lebih
luang, makaaa diputuskanlah pelaksanaan niat ini: bikin ringkasan atau mindmap
konten bukunya, dan bikin ulasan atau review bukunya.
Ringkasan atau mindmapnya sih
buat saya pribadi (kecuali kalo ada yang minta, insyaaAllah saya kasih), biar
sewaktu-waktu ketika butuh materi tertentu saya tinggal baca ringkasan/mindmapnya
aja, gausah ribet-ribet cari lagi di bukunya. Nah kalo ulasannya baru deh buat publik.
Well, lewat judul #MariBaca saya akan nyoba
ngulas sedikit setiap buku yang baru aja saya baca, yaa singkat aja sih
ulasannya. Karena saya baru kepikiran ide ini belakangan ini, jadi buku-buku
yang saya baca setelah ide ini muncul aja yang bakal diulas. Harapannya sih ini
bisa ngebantu orang cari referensi buku apa yang oke buat dia baca. Untuk info,
saya biasanya baca buku-buku parenting, novel (pendidikan, romance, religi,
budaya, politik, childhood, dan sejenisnya), biografi tokoh, wanita dan
kecantikan, sastra, lingkungan dan alam, arsitektur, penataan wilayah dan kota, buku-buku religi
(sejenis yang biasa diterbitin ProU), management,
buku-buku pengembangan diri, psikologi, sejarah, sains, dan komik (yes, of
course!). ulasan-ulasan saya ini diusahakan gak spoiler kok,
jadi tenang aja hehe. Bukan berarti semua buku yang saya baca itu baiknya dibaca
juga loh ya, tapi silahkan ambil yang emang dibutuhin aja. Semoga terbantu! J
Nah untuk kali pertama, saya
bakal sedikit ngereview novel ‘Ayah’ karya mas Andrea Hirata.
Cover depan 'Ayah - Andrea Hirata'
Sabtu, 30 Juni 2018
Kindness is Contagious (2)
Selain pekat dengan aroma kebaikan, Bulan Ramadhan juga
pekat dengan hawa-hawa buka bersama. Sore itu aku memiliki agenda buka bersama
dengan teman-teman organisasi. Kami memilih tempat makan yang tidak jauh dari
kampus. Di samping harga makanannya tidak terlalu mahal, rasa makanannya pun
bisa dibilang enak. Sistem penyediaan minumnya cukup unik, pengunjung
dipersilahkan mengambil sendiri minumannya di tempat yang telah disediakan,
sepuasnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lebih. Di Semarang, itu
artinya sebentar lagi azan magrib dikumandangkan. Makanan kami sudah datang,
namun belum ada satupun dari kami yang mengambil minumnya, sepertinya kami
terlalu asik berbincang. Mengingat sebentar lagi memasuki waktu berbuka, aku
memutuskan mengambil minuman untuk kami.
Selayaknya tempat makan pada umumnya di bulan puasa di
detik-detik berbuka, tempat makan inipun padat dengan pengunjung. Begitu juga
antrian pengambilan minum, padat. Aku berdiri di antrian ke sekian sambil
menyiapkan gelas-gelas yang akan kuisi. Tiba-tiba, masuklah seorang bapak paruh
baya ke dalam rumah makan. Beliau
mengenakan baju koko berwarna hijau telur asin yang sedikit lusuh, peci putih
kain, dan celana bahan. Beliau menggenggam sebuah kresek yang berisi bungkusan
nasi.
“minta minum… minta minum..”, katanya, dengan suara lemah
dan bergetar. Aku memandang si bapak dari antrianku, memerhatikan. Aku juga
memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Wajar bila orang-orang itu memasang
wajah bingung dan hati-hati. Beberapa dari mereka bahkan menunjukkan gesture
menjauh. Pelayan rumah makan berjalan mendekati si bapak, memintanya keluar. Si
bapak tetap berdiri di tempatnya, mengulangi kalimat ‘minta minum’nya. Tetap, si pelayan menyuruhnya pergi. Bapak
tersebut berbalik ragu-ragu ke arah pintu, perlahan berjalan keluar. Aku
memutuskan keluar dari antrean, mendekati Si Bapak. “Pak, tolong tunggu di
depan sana ya, saya beliin minum.” Dengan raut wajah hampir menangis—entah
karena diusir atau karena akan mendapat minum—ia mengangguk. Aku menghampiri
meja kasir yang sekaligus menjadi tempat pemesanan, memesan minuman untuk dibungkus.
Aku diam berdiri, menunggu pesananku di sebelah meja kasir. Sambil menunggu,
sesekali kutengok jendela besar di sebrang sana, memastikan Si Bapak masih
menunggu di depan rumah makan. Benar saja, ia menunggu sambil menunduk,
memandangi bungkusan nasinya. Entah kenapa ada setangkup rasa sedih saat aku
melihatnya. Tak berselang lama, pesananku sudah siap. Seorang pramusaji
menyerahkan segelas plastik minuman padaku.
“bayarnya boleh agak nanti mbak? Uang saya di meja yang
sana.”, kataku. Pamusaji tersebut mengiyakan.
Aku pergi ke arah pintu keluar, menghampiri Si Bapak. Aku
tau, pramusaji itu masih memerhatikanku. Ya, pramusaji yang juga meminta Si
Bapak keluar. Sesampainya di luar, kuserahkan minuman tersebut kepada Si Bapak.
Setelah berterimakasih, ia pamit pergi. Masih dengan muka seperti ingin
menangis, membuatku merasa semakin sedih. Aku kembali mengantri, lebih tepatnya
mengulang antrian. Tiba-tiba, pramusaji yang tadi megusir bapak itu, yang juga
melayani pesananku, yang juga memerhatikan gerak-gerikku, menghampiriku.
“Mbak, minumannya gausah dibayar”, katanya.
Aku mengarutkan kening, namun tersenyum.
“oh gitu? Makasih ya mbak..” kataku.
“iya mbak..” balasnya, ia kembali bekerja.
Aku diam,
memandangi lantai yang persis di bawahku. Memikirkan kejadian yang baru saja
terjadi, membuat senyum di hatiku semakin merekah. Tuh kan, bukan cuma cacar aja
yang menular, tapi kebaikan juga.
Hal-hal seperti ini—berbuat sesuatu lalu orang lain merasakan
dampaknya—mungkin sering kutemui atau
kualami, sejak dulu. Bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun
dulu ya terlewatkan begitu aja. Tanpa banyak proses berpikir, merenung, mencoba
mengambil ibrah atau pelajaran di baliknya. Yaa, namanya juga anak kecil.
Semakin ke sini, semakin banyak hal yang membuatku berpikir.
Kadang membuatku harus mengerutkan dahi, kadang membuatku tersenyum takjub,
kadang membuatku tersipu malu, kadang membuatku sama sekali tak mengerti. Dari yang
dulunya aku tidak perduli, kini banyak hal-hal yang tidak bisa membuatku tidak
perduli. ‘Dunia berubah’, pikirku. ‘Dunia berubah. Sekarang orang-orang hobi
banget ngomongin nikah, akun baper betebaran dimana-mana. Perang pemikiran juga
semakin gila. Perebutan kekuasaan dimana-mana. Dulu nggak gini kayanya. Dulu
dunia gak serumit gini.”
Lambat laun aku sadar, sebenarnya dunia sama sekali tidak
berubah, tapi cara pandang kitalah yang
semakin bergeser. Entah bergeser ke sesuatu yg lebih baik, atau sebaliknya. Dari dulu, udah banyak kok
yang ngomongin nikah, dari dulu udah gencar kok yang namanya perang pemikiran, perebutan
kekuasaan, dan hal-hal semacam itu. Bedanya, dulu aku tidak perduli. Apalah perdulinya
anak umur 10 tahun dengan urusan nikah menikah dan berbagai konspirasi dunia.
Ya, dunia sama sekali tidak berubah. Kalaupun ada beberapa
hal yang belum pernah ada sebelumnya, itu hanya di cara, bukan prinsip. Dulu memukul
sendiri, namun karena perkembangan teknologi, sekarang tinggal pencet tombol
sudah bisa memukul. Intinya kan sama: memukul.
Semakin lama hidup, semakin banyak hal yang tadinya mungkin
terlihat biasa dan wajar di kacamataku, kini tidak.
Seperti halnya ketika aku mudik lebaran tahun ini. Entah
kenapa terasa banyak sekali yang berbeda. Sepupu-sepupu laki-lakiku, yang dulu masih bisa kucubit bahkan
kupeluk, sekarang aku sudah harus
menjaga jarak dengan mereka. Pun dengan batasan auratku di depan mereka, bertambah. Rasanya, waktu itu masih cempreng saja suara mereka, masih tidak malu berlarian ke sana ke
mari, menabrak ini dan itu.
Sekarang, merinding aku mendengar
suaranya. Suara bariton yang besar dan berat pun akrab terdengar ketika mereka
berbicara. Jakunnya sudah jelas terlihat naik dan turun ketika mereka
bercerita.
Mungkin sebenarnya perubahan ini sudah mulai bisa kulihat
dari tahun-tahun sebelumnya. Ya, hanya kulihat. Tapi baru tahun ini kurasakan,
dan itu membuatku banyak berpikir dan merenung.
Jangan jauh-jauh ke sepupu, adik (yang kupikir masih) kecil
laki-lakiku saja seperti itu, namanya Hafiz. Dia, yang rasanya baru saja
kuantar masuk pesantren tempo hari, sudah sangat kurasakan perubahan fisiknya
di liburan kemarin. Cepat sekali ia menjadi ‘laki-laki’ L
Tahun ini aku dan adikku yang paling tua, Fauzan, diizinkan
bapak mengunjungi bunda kami yang tinggal di luar kota dengan menggunakan mobil. Ini kali pertama
kami berdua diizinkan keluar kota mengendarai mobil. Mungkin sekilas itu
terlihat biasa. Tapi bagiku tidak. Bukan karena mobilnya, tapi karena itu
menandakan sebuah perubahan cara pandang orangtua kami terhadap kami. sepanjang
perjalanan, hatiku sesak dengan perasaan syukur, haru, dan trenyuh. Ternyata orangtua
kami menganggap kami sudah sedewasa ini.
Jika sudah berdua begini, pembicaraan kami tidak seringan
dulu. Berbagai hal tentang hidup, cara pandang masing-masing tentang banyak
hal, pendapat masing-masing mengenai sebuah isu, dan rencana masing-masing
untuk masa depan kerap mewarnai percakapan kami. Sesekali sama-sama diam,
merenungkan yang baru saja kami obrolkan, untuk kemudian dilanjut lagi entah
dengan topik yang sama atau loncat membahas hal lain. Sungguh dulu aku sama sekali
tak menyangka akan begini isi obrolan kami.
Sesampainya di rumah bunda, si kecil sovi sudah menunggu
kami di depan gerbang, siap menghambur ke pelukan salah satu dari kami yang
keluar lebih dulu dari mobil. Ingin rasanya kugendong anak itu, tapi……..ah,
ternyata sovi sudah bukan adikku yang kecil lagi. Berat dan tingginya kian
bertambah. Aku tidak senyaman dulu lagi memangku dan menggendong sovi karena
bobot tubuhnya. Waktu kuturunkan kembali, sovi cemberut. “Kamu berat dek”
kataku sambil tertawa. Kuacak-acak rambutnya, dia tetap cemberut karena
tidak jadi kugendong. Setelah salim dengan sovi, kami masuk ke dalam rumah,
menyapa anggota rumah lainnya.
Pun adikku yang satu lagi, Dita. Sering kudapati status di sosial
medianya mulai merujuk kepada hal-hal yang wajarnya remaja rasakan; perasaan tertarik
pada seseorang. Aku beberapa kali meringis melihatnya. Ah, kenapa gadis ini
cepat sekali tumbuh. Malah, waktu kutemui lebaran kemarin, gadis ini bahkan
hampir menyaingi tinggiku! L
Entah kenapa, disamping perasaan bahagia, ada setumpuk rasa
sedih menyadari hal-hal kecil ini.; Fauzan yang sudah semakin kritis
pemikirannya, Hafiz yang semakin ‘laki-laki’, Dita yang semakin terlihat ‘gadisnya’,
Sovi yang sudah bukan anak kecil lagi. Aku terpaksa harus menerima kenyataan bahwa mereka bukan adik-adik kecilku lagi. Ah, waktu..
Lalu kupandangi diriku sendiri di cermin. Adakah juga sama; adakah berubah. Namun gagal, tidak kudapati perubahan signifikan secara fisik.
Sejurus kemudian aku tersadar, bukan itu yang berubah. Namun
hal yang lebih mendasar, hal yang akan menggiring arahku di hidup ini; caraku
memandang.
Di bulan Juni kali ini, banyak hal yang membuatku semakin ‘terbangun’.
Selain kesempatan bertemu banyak anggota keluarga di lebaran kemarin dan
memerhatikan mereka satu per satu, bulan ini juga umurku bertambah menjadi 22.
Bagiku, itu bukan angka yang sedikit untuk ukuran umur anak
manusia. Maksutnya, bukan masaku lagi setidakperduli dulu. Banyak hal-hal di
sekelilingku yang menunggu kontribusiku, sesedikit apapun yang kupunya.
Bulan ini juga aku sidang, lebih tepatnya kemarin. Yes, I’am
unofficially being Mulia Fajri Ichzani S.Ars.
Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah selalu, yang
menyampaikan diri di titik ini. Titik yang bukan akhir, justru awal dari
banyak hal. Gerbang, kata mereka. Dengannya, aku semakin ‘dibangunkan’. Sungguh
aku Muli yang bukan lagi waktunya bermain di got depan rumah, menangkap belalang
di halaman sekolah, atau diam-diam minum es walaupun dilarang ibu. Sungguh aku
Muli yang sudah berhak menentukan sendiri akan ke mana hidupku ini dibawa. Dan fakta
itu bukan hal yang sepele, bukan hal yang bisa dianggap kecil.
Ohiya, terimakasih banyak untuk semua pemberi barang-barang
ini di hari sidangku kemarin ya. Baik yang datang langsung ke sidang, nitip lewat teman, langsung mendatangi kosku, atau bahkan mengirimkan via paket ke kos karena tidak bisa ke Semarang. Terimakasih J
Ada 1 hadiah yang paling membuatku jatuh cinta. Hadiahnya cantik banget sampe aku ngerasa kalah cantik :’) hahaha #SiapaJugaYangBilangLuCantikMul #Pffft
Rangkaian bunga pinus, yang ternyata dirangkai sendiri oleh pemberinya.
Biarpun gak tertulis nama pemberinya, tapi aku tau ini dari siapa haha.
Hey, terimakasih untuk bunga yang tidak pernah matinya, ya :)
Biarpun gak tertulis nama pemberinya, tapi aku tau ini dari siapa haha.
Hey, terimakasih untuk bunga yang tidak pernah matinya, ya :)
Terimakasih banyak juga untuk semua yang mendoakan ya, baik yang menyampaikan secara langsung, menyampaikan lewat surat, maupun melayangkan diam-diam. Semoga semua kebaikan yang didoakan terkabul dan berlaku juga untuk yang mendoakan. Aamiin allahuma aamiin.
Terimakasih, terimakasih J
.
.
.
.
Ngomong-ngomong, nyadar gak sih cuma bagian awal tulisan ini yang nyambung sama judulnnya? Haha sengaja :p
biar gak ketauan-ketauan banget kalo ini tulisan menggalaukan diri yang semakin tua wkwkwkwk
biar gak ketauan-ketauan banget kalo ini tulisan menggalaukan diri yang semakin tua wkwkwkwk
Well, di penghujung Juni ini, aku berharap semoga diri ini dan yang membaca selalu Allah
limpahkan kasih sayang, ridha, dan rahmat-Nya..
Langganan:
Postingan (Atom)